Oleh : Dionysia Mayang Rintani, Pascalina Audacia M. Pasurnay, Indah Lestari, Muhammad Romli
DENTING jam menunjukkan pukul 13.06 waktu Indonesia bagian barat. Sudah lewat tengah hari, namun keriuhan dalam Pasar Taman Kota, Jakarta Barat masih bisa dijumpai, meski tak seramai saat para penjual dan pembeli seolah berlomba suara ternyaring di pagi hari atau bahkan subuh di pasaar tradisional seperti biasanya. Lewat tengah hari, hanya sesekali suara beberapa penjual yang masih sibuk merapikan dagangannya dan satu dua pembeli melintas kesana kemari.
|
Indomaret yang hanya berjarak 100 meter dari Pasar Taman Kota |
Di dekat tempat memarkir motor, suara sendok dan mangkuk masih beradu bersama dengan kepulan asap kuah dan bau khas yang menyeruak, tanda tukang bakso masih siap dan setia menunggu pelanggannya. Tidak jauh gerobak bakso itu, tepatnya di bagian depan pasar masih kokoh berdiri papan besi yang sudah mulai dimakan usia. Masih jelas terbaca tulisannya, menjelaskan bahwa Pasar Taman Kota dikelola oleh pemerintah daerah. Seperti gambaran pasar kebanyakan, deretan kios yang penuh dan agak sesak, lalu dengan penutup kios dari balok-balok kayu panjang yang ditumpukkan juga ada di pasar ini.
Tidak jauh dari tempat parkir tadi masih ada kios kelontong yang menjajakan dagangannya. Dengan luas kios yang kira-kira hanya lima kali lima meter, rasanya kios tersebut terlalu penuh. Barang-barang dagangan bertumpuk. Berkarung-karung beras ada di pojok toko. Seakan tak mau kalah, dirigen-dirigen yang berisi minyak goreng curah juga menumpuk di dekat situ. Di langit-langit toko, tersampir berbagai bumbu masak, shampoo, dan bahkan pembalut, semuanya dalam kemasan hemat.
Di dalam kios yang sempit itu, Bambang sang pemilik kios terlihat sedang merapikan kiosnya seorang diri. Dengan mengenakan singlet putihnya, ia menyusun barang-barang dagangannya satu per satu, menata dan memilah sesuai jenisnya. Telaten dan teliti, meskipun barang-barang tersebut tidak akan bisa rapi layaknya barang dagangan di minimarket terdekat yang jaraknya hanya 100 meter dari kios tersebut.
Tersirat kepasrahan dalam kata-kata Bambang, bahwa ia sebenarnya resah dengan adanya Indomaret dan Alfamart di dekat pasar itu, karena sedikit demi sedikit omzetnya mulai berkurang. Terlebih lagi, kedua minimarket ini sering mengadakan promo yang akhirnya membuat para calon pembeli bimbang dan malah lari ke minimarket.
PUKUL 14.49 kini. Dari segi kenyamanan, Pasar Tradisional Ganefo, Jakarta Barat mungkin memiliki nilai beberapa tingkat daripada Pasar Taman Kota. Barisan kios-kios lebih tertata rapi. Yang paling mencolok adalah lantainya yang tidak seperti lantai di pasar tradisional biasa yang identik dengan becek dan jorok, di pasar ini beralaskan keramik. Meski dari ciri-ciri pasar ini sudah tepat disebut pasar modern, namun masih disebut sebagai pasar tradisional.
Kios-kios sembako dan perlengkapan lainnya, berjejer menghadap ke luar bangunan pasar, sedangkan di dalamnya terdapat lapak-lapak sayuran dan daging. Tempatnya jauh lebih bersih dari pada Pasar Taman Kota. Persamaan dengan Pasar Taman Kota, berderet Indomaret dan Alfamart yang selalu ramai dikunjungi pembeli, yang berjarak sekitar 200 meter dari Pasar Ganefo.
Di salah satu kios yang letaknya cukup strategis, Tuti Rahayu, seorang ibu berkerudung sibuk mengemasi lada butiran dalam plastik-plastik kecil untuk dijual. Di wajahnya terdapat guratan-guratan tanda usia yang menua. Pembeli bisa menemukan kiosnya dengan mudah, karena letak kios yang menghadap ke luar pasar. Sepuluh tahun sudah dia masih tetap di kios yang sama, pasar yang sama, bahkan jauh sebelum Pasar Ganefo direnovasi.
Sama dengan Bambang, dia juga resah dengan hadirnya minimarket yang mulai menjamur di berbagai tempat, bahkan juga tak sedikit yang lokasinya berdekatan dengan pasar. Tuti sendiri tahu, bahwa sebenarnya ada peraturan mengenai jarak minimarket dengan pasar tradisional. Namun, dia juga tak bisa berbuat apa-apa.
“Gak bisa bilang dirugikan juga ya, zaman sekarang gini, mana yang punya duit, mana yang menang,” ucap Tuti pedih.
Pasar Ganefo adalah sebuah pasar tradisional yang dikelola oleh PD Pasar Jaya. Pasar tradisional lain yang dikelola oleh PD Pasar Jaya adalah Pasar Bojong Indah, yang terletak di Jalan Pakis Raya, Kelurahan Rawa Buaya. Pasar Bojong Indah ini juga seperti dikepung oleh dua minimarket, Indomaret dan Alfa Midi. Pasar lainnya adalah Pasar Kedoya yang terletak di Jalan Kedoya Raya, Kelurahan Kedoya Utara. Tak jauh dari pasar ini terdapat Indomaret dan Alfamart yang berjarak 300, letak keduanya hanya dibatasi oleh dua ruko.
DI HARI lain, jarum jam menunjukkan pukul 12.38. Pasar Kemiri, sebuah pasar yang dikelola secara mandiri oleh para pedagangnya, terletak di daerah Basmol, Jakarta Barat. Kesan kumuh langsung nampak hanya dengan melihat bagian depannya saja. Tenda-tenda yang entah sengaja atau tidak dibangun berantakan di bagian depannya. Berjalan ke bagian dalam pasar, suasana pasar yang masih begitu tradisional sangat kental.
Bau daging menyeruak, berasal dari los-los para pedagang daging yang sebenarnya sudah tutup. Tak beda dengan bagian depan pasar, kios-kios di bagian dalam Pasar Kemiri ini juga sama berantakannya. Satu dua pedagang masih bertahan di kiosnya, tak peduli hari sudah beranjak siang.
Lokasi Pasar Kemiri ini terhitung strategis. Berdekatan dengan Sungai Cengkareng Drain, dan berada di pinggir Jalan Basmol Raya. Jalan Basmol Raya yang juga melintasi kompleks Taman Kota memiliki panjang sekitar 500 meter. Sama dengan Pasar Taman Kota dan Pasar Ganefo, tak jauh dari Pasar Kemiri terdapat Alfamart, dan jaraknya hanya sekitar 50 meter dari Pasar Kemiri. Dikutip dari sentanaonline.com, Jalan Basmol Raya yang hanya sekitar 500 meter panjangnya ini sudah dijejali dengan enam minimarket, dua Alfamart dan empat Indomaret.
Di dekat salah satu kios, ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang bercakap-cakap. Nani, salah satunya. Sebagai pedagang yang sudah lama ada di Pasar Kemiri tentu ia tahu, bahwa minimarket merebak di sekitar situ. Disinggung mengenai peraturan mengenai jarak antara minimarket dan pasar tradisional, Nani mengaku tidak mengetahui. Dia juga menegaskan, bahwa dia tidak merasa dirugikan dengan adanya minimarket di sekitar Pasar Kemiri.
“Namanya orang kecil ya udah terima saja.”
*****
BENNY Sindhunata, Chief Research Officer Pusat Data Business Indonesia (PDBI), menguatkan dugaan bahwa pedagang pasar tradisional merugi akibat menjamurnya minimarket. Seperti yang dikutip dari tempointeraktif.com tanggal 22 Mei 2003 yang melaporkan bahwa Benny menjelaskan berdasarkan studi akademika Bandung, 80% omzet ritel tradisional terganggu karena hadirnya minimarket. Dari hasil wawancara langsung, Benny menuturkan bahwa peryataannya di tahun 2003 tersebut masih valid sampai saat ini dan akan bertambah di tahun-tahun ke depan selama tidak ada proteksi dan sikap dari pemerintah daerah.
“Ekspansi luar biasa retailer seperti minimarket di DKI sudah luar biasa. Karena secara ekonomis pasarnya mendukung dengan daya beli tinggi dan konsumen yang pola hidup dan taraf hidupnya kian tinggi. Trend universal dan global,” ungkap Benny Sindhunata mengenai maraknya ritel khususnya di DKI Jakarta.
Minimarket seperti virus yang dengan cepat berkembang biak dan menyebar ke setiap sudut jalan di Jakarta. Menurut data dari Biro Perekonomian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, setidaknya ada 1.868 gerai minimarket yang tersebar di DKI Jakarta hingga akhir tahun 2012. Itulah jawaban dari mengapa minimarket dengan mudah dijumpai di Jakarta yang hanya 661,52 km².
Di wilayah administrasi Jakarta Barat saja, setidaknya ada 223 gerai Alfamart yang terdapat di situs resmi Alfamart, www.alfamartku.com, dengan rata-rata 27-28 gerai per kecamatan. Tidak heran jika sekitar 10.000 warung tradisional di Jakarta tutup karena dilibas oleh keberadaan minimarket hingga awal tahun 2012 lalu, seperti yang dijelaskan oleh Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran, seperti yang dikutip pada detikFinance (30/01/2012).
Pada akhir tahun 2006, Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan penundaan perizinan minimarket di Provinsi DKI Jakarta melalui Instruksi Gubernur No 115 Tahun 2006. Namun instruksi gubernur tersebut diabaikan. Terbukti dari munculnya minimarket yang semakin menjamur. Akhirnya Ingub tersebut dicabut dan diganti dengan Ingub No 7 Tahun 2012 tentang Penataan dan Penertiban Minimarket dan 7-Eleven di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, Ingub No 7 Tahun 2012 itu memunculkan polemik-polemik baru. LBH Jakarta misalnya, menilai bahwa pencabutan Ingub No 115 Tahun 2006 dan diganti menjadi Ingub No 7 Tahun 2012 hanya menambah polemik dalam hal persaingan pasar yang sehat.
*****
Kepgub Provinsi DKI Jakarta No 44 Tahun 2003 Bab VII Pasal 8a.
Jenis usaha perpasaran swasta sebagaimana dimaksud Pasal 3 yang luas lantainya 100 m² sampai dengan 200 m² harus berjarak radius 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak di sisi jalan lingkungan/kolektor/arteri.
Membaca salah satu pasal dari keputusan gubernur tersebut bagai membaca peraturan yang tak memiliki kekuatan untuk mengatur dan memaksa sama sekali. Sanksi yang ada seakan jadi pemanis regulasi sehingga membuat para pengusaha ritel kian berani membuka gerai tanpa mengindahkan adanya peraturan.
Telah disebutkan dengan jelas, bahwa jenis usaha perpasaran swasta, seperti minimarket, pusat perbelanjaan modern, dan toserba, harus berjarak setengah kilometer dari pasar lingkungan. Namun dalam faktanya, hanya 50 meter dari pasar tradisional kita sudah bisa menemukan minimarket. Bahkan, di jalan yang panjangnya sekitar 500 meter bisa terdapat enam minimarket.
Di Jakarta Barat sendiri, ada beberapa pasar tradisional seperti Pasar Ganefo, Pasar Bojong Indah, dan Pasar Kedoya. Semua pasar tersebut dikelola oleh PD Pasar Jaya, perusahaan jawatan yang didirikan berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. Ib.3/2/15/66. Ketiga pasar lingkungan tersebut dikepung oleh keberadaan minimarket yang bahkan asal-usul dan proses perizinannya juga masih dalam tanda tanya.
Menurut Abu Salam, seorang Pegawai di Biro Perekonomian Pemprov DKI Jakarta, pemberian izin minimarket ada di tangan walikota setempat, yang mana diatur dalam Kepgub No 29 Tahun 2004.
Sikap kurang mengenakkan juga nampak, ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyinggung mengenai peraturan yang menjelaskan mengenai ketentuan jarak pasar tradisional dengan minimarket. Ditanya tanggapan mengenai pasar tradisional yang menjadi sepi karena adanya promo-promo dari minimarket, Abu Salam membelokkan arah pembicaraan, bahwa sebenarnya target marketing dari pasar tradisional dan minimarket pada dasarnya beda. Dia juga menambahkan, lebih baik masalah ini ditanyakan lebih lanjut pada PD Pasar Jaya.
Analisa dan tindak lanjut tegas diperlukan, terutama dari pihak pemerintah. Disinggung mengenai tindak lanjutnya, Abu Salam menjawab dengan ragu-ragu, bahwa sebenarnya akan ada analisa namun masih belum bisa dipastikan kapan.
Sementara itu, sikap tidak mengenakkan juga diperlihatkan dari pihak PD Pasar Jaya. Untuk menemui orang yang bertanggung jawab di PD Pasar Jaya harus melalui proses yang berkelit-kelit, itupun akhirnya tidak bertemu dengan orang terpentingnya langsung.
Sumali, salah seorang pengelola, sedang bersama dengan dua petinggi PD Pasar Jaya lainnya ketika ditemui. Saat dikonfirmasi mengenai adanya pelanggaran peraturan mengenai jarak pasar tradisional dan minimarket, dengan ketus dia menolak wawancara.
“PD Pasar Jaya tidak berwenang menegur minimarket,” tegasnya.
*****
KESAN tidak mengenakkan muncul dari pihak pemerintah dan pengurus jawatan yang ditunjuk oleh pemerintah. Ketika disinggung mengenai kelanjutan adanya pelanggaran peraturan mengenai jarak minimarket dan pasar tradisional tidak ada jawaban pasti, malah keduanya terkesan saling melempar tanggung jawab. Padahal, saat ini dibutuhkan campur tangan dari pemerintah untuk menindak tegas kemunculan minimarket-minimarket yang semakin menjamur, apakah proses perizinannya sah dan sudah memenuhi syarat-syarat yang berlaku.
Seperti penjelasan dari Benny, jika tidak ada proteksi dan sikap dari pemerintah daerah yang bersangkutan, perusahaan-perusahaan ritel minimarket akan semakin berkembang, yang tentu saja nantinya akan mematikan pedagang-pedagang pasar tradisional yang sudah lebih dulu ada.
Tambahnya, meskipun memiliki perbedaan pada format, keduanya juga memiliki perbedaan pada pelayanan, produk yang dijual, dan harga. Dampak negatif signifikan yang akan muncul bila pasar tradisional dan minimarket berdekatan adalah matinya pasar tradisional, karena tidak akan sanggup memberikan produk dan pelayanan sebaik pasar modern.
Monopoli dari pihak ritel pasar modern sudah bukan menjadi indikasi saja, namun juga fakta meskipun belum bisa dilihat dengan tolok ukur yang pasti. Yang jelas, pasar tradisional yang mencangkup berbagai jenis pedagang yang mengumpulkan rezeki di sana sudah mulai sekarat, mereka sudah merasakan kerugian-kerugian sebagai dampak adanya minimarket yang berada di dekat lokasi pasar.
Tak dapat dielakkan, pasar tradisional kini menunggu mati.